Biografi Intelektual Spiritual Muhammad

Diposting oleh Label: di


Peresensi: @hdgumilang

Kali ini, kita akan meresensi buku karangan cucu Hasan Al Banna, yaitu Tariq Ramadan Al Banna. Membaca Biografi Intelektual-Spiritual Muhammad, kita akan dibawa pada nuansa yang teduh tentang sosok Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam. Buku ini tidak memaparkan catatan terperinci tentang berbagai fakta sejarah, prestasi besar, atau peperangan penting. Sebab, biografi-biografi klasik mengenai Nabi Muhammad telah menyediakan beragam informasi yang melimpah. Oleh karena alasan tersebut, buku ini difokuskan pada beragam situasi, sikap, atau perbuatan yang akan menarasikan kepribadian beliau, dan pelajaran apa yang dapat kita petik darinya. Ada lompatan-lompatan yang membuat kita bergerak ke arah yang menjadikan kita pribadi yang lebih baik lagi, juga ada perenungan-perenungan yang membawa kita melihat arah jalan pulang dan kembali ke asal yakni rida dan keberkahan Allah.

Bahasa yang digunakan Tariq Ramadan begitu ringan, berwibawa, dan mengandung hikmah. Dalam buku ini, kita bisa memahami sisi kepribadian Nabi Muhammad tidak hanya sebagai seorang Rasul melainkan juga sebagai manusia pada umumnya: menikah, berkeluarga, bermuamalah, dan aneka macam dinamika yang lazim dialami oleh orang-orang dalam kehidupannya. Yang istimewa, kedudukan Nabi Muhammad sebagai manusia memberikan pelajaran-pelajaran penting yang menjadi bahan perenungan dan pengantar untuk memahami Islam.

Pada tiap bagian buku ini sengaja dibuat pendek. Kita akan menyaksikan pergerakan yang harmonis antara kehidupan Nabi, Al Quran, dan ajaran-ajaran yang bersesuaian dengan nilai-nilai spiritual dan situasi masa kini, yang bisa kita petik dari beragam peristiwa sejarah.

Ada enam belas judul besar yang disusun Tariq Ramadan di sini, mengantarkan kita pada situasi yang naik turun, kadang menanjak takjarang pula turun menukik, ada kalanya dada menyesak karena terenyuh, ada pula masanya hati terasa lapang karena kedamaian. Judul-judulnya yaitu, Menjumpai Yang Mahasuci; Kelahiran dan Pendidikan; Kepribadian dan Pencarian Spiritual; Wahyu, Pengetahuan; Misi dan perpecahan; Perlawanan, Kerendahan Hati, dan Pengasingan; Cobaan, Mikraj, dan Harapan; Hijrah; Madinah, Kehidupan, dan Perang; Pelajaran dan Kekalahan; Muslihat dan Pengkhianatan; Mimpi, Kedamaian; Kembali, Pulang; Di Rumah, di Seberang Sana; Tak Berutang; Dalam Sejarah, dalam Keabadian.

Ketika Perang Badar akan digelar, tulis Tariq Ramadan, “Nabi tahu bahwa perang akan terjadi dan akan dimenangkan oleh orang Islam. Beliau terus berdoa kepada Tuhan dan menyemangati para sahabatnya untuk tetap tabah dan teguh... Beliau sujud lama sekali, sambil berdoa agar Tuhan memenuhi janji-Nya, melindungi umatnya, dan memberikan kemenangan kepada orang Islam, hingga Abu bakar memintanya berhenti sambil menyakinkan dirinya bahwa Tuhan tidak akan mengecewakan mereka.” (h. 185).

Di sini, --menurut saya sebagai peresensi-- kita bisa menyaksikan sisi manusiawi Nabi Muhammad sebagai seorang manusia biasa yang dikarunia kemuliaan dan kedudukan yang tinggi oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagai manusia, beliau tetap berdoa secara teguh, utuh, dan lurus. Sebagai manusia, beliau tetap perlu penegasan keyakinan dari manusia lainnya, yakni Abu Bakar sahabatnya terbaik. Lantas, apa alasan kita –yang tidak memiliki beragam atribut kemuliaan itu—untuk mencoba berhenti berdoa kepada Tuhan?

Kita juga bisa mengambil pelajaran tentang seni berinteraksi dengan orang-orang munafik dari kisah Rasulullah. “Yang tersimpan di dalam hati berada jauh di luar batas pengetahuan manusia,” ujar Tariq Ramadan (h. 285). Nabi adalah contoh bagi sikap kehati-hatian dan kerendahan hati dalam hal menilai seorang yang ketulusan hati atau niatnya diragukan.

Nabi tahu keberadaan orang-orang munafik di sekitarnya, tapi beliau tidak mengambil tindakan khusus terhadap mereka. Beliau tetap bersikap hati-hati, terkadang waspada, tapi beliau tidak menetapkan keputusan final. Contoh yang paling menggugah adalah kasus Abdullah bin Ubay, yang telah berdusta berkali-kali, menarik mundur pasukan persis sebelum perang Uhud dimulai, dan terus menjalin hubungan dengan pihak-pihak yang memusuhi masyarakat Islam. Nabi tidak melakukan tindakan balasan terhadapnya selain menolakan bergabung dalam berbagai situasi atau peristiwa penting. Beliau memimpin salat jenazah Abdullah bin Ubay meskipun ada penolakan keras dari Umar dan selanjutnya wahyu memerintahkannya agar tidak menyalati orang munafik yaitu surat At Taubah ayat 84. (h. 286).

Ayat ini, kata Tariq Ramadan, yang tampak tegas dan jelas menyangkut sikap yang patut ditunjukkan kepada orang munafik ketika mereka meninggal, menyampaikan pesan yang sangat kuat tentang cara berurusan dengan mereka dalam kehidupan sehari-hari hingga saat-saat terakhir kehidupan mereka. Tidak ada perintah apa pun untuk memberikan penilaian akhir tentang kemunafikan mereka selama mereka masih hidup, dan perilaku yang paling patut adalah seperti yang dicontohkan Nabi. Beliau tidak pernah memberi penilaian terhadap orang munafik semasa hidupnya, karena hingga detik terakhir masih tersisa kemungkinan hatinya akan tulus menerima Islam. Tuhan hanya memerintahkannya untuk tidak menyalati setelah mereka meninggal, karena kondisinya sudah tidak bisa lagi diubah dan telah jelas bahwa mereka telah hidup dan mati dalam kemunafikan, pengkhianatan, dan dusta. (h. 286).

Nabi tetap menjalani kehidupan rumah tangga yang menuntunnya untuk memberi perhatian penuh terhadap keluarganya. Beliau sendiri selalu bersikap moderat, tidak suka memihak salah satu istrinya. Dalam berbagai situasi beliau sangat lembut, baik hati, dan penuh kasih sayang, kepribadiannya itu sangat dihargai dan dipuji oleh keluarganya, istri-istrinya. Beliau terbiasa memberi perhatian kepada istrinya dan berdialog dengan mereka, beliau mendengarkan masukan mereka, dan sepanjang hidupnya beliau tetap menghormati mereka sebagaimana yang beliau tunjukkan kepada Khadijah. Istri-istrinya dapat membedakan antara peran beliau sebagai seorang nabi dan kehidupan pribadinya sebagai suami dan manusia biasa. Beliau tidak pernah menuntut diperlakukan secara istimewa. Beliau berusaha memenuhi harapan istri-istrinya. Tetapi mereka tidak pernah berusaha menggunakan status mereka sebagai istri Nabi untuk memperoleh hak-hak dan perlakuan istimewa dari masyarakat. Mereka belajar dari kisah istri Nabi Nuh dan Nabi Luth yang durhaka di satu sisi dan istri Fir’aun yang salihat di sisi lain. Nasib salah satu pasangan suami-istri ditentukan oleh tanggung jawab, pilihan, dan perilaku masing-masing. Dalam hal ini, istri-istri Nabi tidak bisa mengklaim keistimewaan apa pun, dan dituntut untuk rendah hati. (h. 290).

Nabi Muhammad merangsang daya kritis para sahabatnya dan kemampuan mereka untuk keluar dari taklid buta atau peniruan mekanistis yang mendangkalkan pikiran. Metode ini dapat mengembangkan kemampuan intelektual yang diperlukan dalam sebuah konsultasi yang efektif. Dengan merangsang kecerdasan mereka dan memberi mereka kesempatan untuk bicara, beliau telah mempraktikkan bentuk kepemimpinan yang memungkinkan para sahabatnya untuk belajar mengutarakan pendapat dan membuat inisiatif. (h. 183).

Hubab ibn al Mundzir adalah contoh yang paling menonjol dalam hal ini. Ketika tiba perang Badar, Nabi mendirikan kemah dekat mata air pertama yang beliau temukan. Melihat hal ini, ibn al Mundzir menemuinya dan bertanya, “Apakah tempat kita berhenti ini didasarkan wahyu dari Tuhan kepadamu sehingga kita tidak boleh berpindah atau semata pendapat dan strategimu sendiri berdasarkan pertimbangan kondisi peperangan?” Nabi menjawab bahwa keputusan tersebut semata pendapat pribadinya. Ibn al Mundzir kemudian mengusulkan rencana lain, yaitu berkemah di dekat sumber air yang paling besar, yang paling dekat dengan jalan yang hendak dilalui oleh musuh, lalu menimbun sumber-sumber air lainnya di wilayah itu sehingga musuh tidak bisa memperoleh air. Dengan begitu, selama perang, musuh-musuh Islam mengalami kesulitan untuk mendapatkan air. Nabi Muhammad mendengarkan dengan saksama penjelasan strategi ini dan langsung menerimanya: kemah pasukan dipindahkan dan strategi Hubab ibn al Mundzir dijalankan. (h. 183).

Contoh ini, tulis Tariq Ramadan, menunjukkan bahwa para sahabat dapat membedakan antara wahyu yang diterima Nabi, yang mereka taati tanpa pikir panjang, dan pendapat pribadi beliau sebagai manusia biasa yang bisa disanggah, dikoreksi, atau bahkan ditolak. Otoritas Rasul dalam urusan manusia tidak bersifat otokratif atau mutlak; beliau membiarkan para sahabatnya memainkan peran penting dalam musyawarah, dan ajarannya, seperti yang telah kita lihat, mengembangkan kondisi yang memungkinkan tercapainya kemampuan kritis dan kreatif itu. Nabi memberikan para sahabatnya, baik laki-laki maupun perempuan, sarana dan keyakinan untuk mandiri, untuk berani mengajukan pendapat dan berbeda pendapat dengannya tanpa pernah menganggapnya sebagai tanda ketiadaan rasa hormat terhadap statusnya. Dengan cara seperti ini, Nabi memperlihatkan kepada mereka penghormatan mendalam terhadap intelejensi manusia dan hati mereka; mengenai mereka sendiri, mereka mencintai Nabi mereka, pemimpin mereka, atas perhatian, kehadiran, dan tuntunannya untuk memanfaatkan kemampuan mereka sebesar-besarnya. (h. 184).

Empat nukilan di atas, setidaknya memberikan gambaran kepada kita betapa istimewanya buku ini. Membacanya secara utuh, tentu akan mengantarkan kita memahami Islam lebih teduh. []

Anatomi buku
Judul: Biografi Intelektual-Spiritual Muhammad
Penulis: Tariq Ramadan
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta
ISBN: 978-602-290-026-9
Tahun: 2015
Tebal: 372 hal

Sumber foto: internet
Posting Komentar

Back to Top