Peresensi
@hdgumilang
Siapa
sangka kalau salah satu pemimpin pasukan penjaga penjara Liman Turroh –tempat kebanyakan
tahanan politik Ikhwanul Muslimun ditahan-- adalah saudara Hasan Al Banna
sendiri tetapi bukan anggota Ikhwan, yaitu Abdul Basith Al banna.
Siapa
sangka kalau di dalam buku tipis –hanya 117 halaman-- ini akan kita temukan pengetahuan
tentang cikal bakal ‘perpecahan’ Ikhwanul Muslimun lewat kemunculan ‘faksi
Quthbiyah’?
Di
dalam penjara, Sayyid Quthb melakukan upaya untuk memodernisasi gerakan Ikhwan.
Tentu saja upaya-upayanya itu –selain mendapatkan dukungan dari sebagian Ikhwan--
mendapatkan tentangan yang keras dari pimpinan Ikhwan yang lain. Quthb merintis
‘Organisasi Baru’ --demikian yang ditulis dalam buku versi terjemahan
tersebut-- di penjara al Qonathir. Adapun pimpinan-pimpinan Ikhwan dipenjara di
Al Wahat.
Mengapa
harus membuat gerakan baru? Quthb menilai, gerakan Ikhwan saat itu telah
terjatuh. Berkali-kali gerakan Ikhwan dijebak oleh persekongkolan pemerintah
dan musuh-musuhnya seperti tahun 1948, 1954, dan 1957. Secara tegas, Quthb
menulis, “Contohnya gerakan ini selalu menyibukkan dirinya dengan mengajukan
tuntutan kepada pemerintah agar diterapkan UU Islam dan Syari’ah Islamiah,
padahal masyarakatnya itu sendiri telah jauh dari pengertian akidah Islam,
perhatian pada Islam dan akhlak Islam. Karena itu, gerakan Islam ini harus
dimulai dari dasar. Yaitu, dengan lebih dulu menghidupkan pengertian akidah
Islam dalam hati dan akal mereka...”
Akibat
manuvernya itu, salah satu pimpinan Ikhwan, Abdul Rauf Abdul Wafa datang
berkunjung ke penjaranya Sayyid Quthb waktu masih di Liman Turroh untuk
klarifikasi, sebuah kunjungan yang di-cover dengan alasan ‘pergi berobat.’ Apakah
benar Quthb mendakwahkan paham takfir? Quthb menjawab, “Saya katakan kepadanya
bahwa kami tidak mengkafirkan orang. Ini jelas merupakan penyampaian yang tidak
benar. Sebetulnya kami hanya mengatakan bahwa mereka sekarang dari segi
kebodohan tentang hakikat akidah Islam dan tidak mengetahuinya pegertian akidah
Islam, sudah menyerupai keadaan masyarakat di zaman jahiliah.”
Selain
membahas tentang gerakan baru, dalam buku ini juga dibahas tentang tahun-tahun
terakhir Quthb di penjara, menerima kunjungan-kunjungan dari
saudara-saudaranya, dan lain-lain. Dia mengakhiri tulisannya dengan kalimat, “sesungguhnya
Islam tidak tegak dan tidak eksis di suatu negara yang di dalamnya tidak
terdapat kegiatan pendidikan secara Islam dan tidak didirikan pemerintahan
Islam yang menghukum dengan syariat Islam. Pada akhirnya inilah kata-kata
seorang lelaki yang akan menghadap Allah dengan perasaan yang ikhlas, dan akan
melanjutkan dakwahnya sampai detik yang terakhir. Wassalamu’alaikum
warahmatullah wabarakatuh. Penjara militer, 22 Oktober 1965. Sayyid Quthb.”
Anatomi buku
Judul: Mengapa Saya Dihukum Mati? Pengakuan
Terakhir Sayyid Quthb
Judul asli: Li Madza A’damuni
Penulis: Sayyid Quthb
Penerjemah: Ahmad Djauhar Tanwiri
Penyunting: Jalaluddin Rakhmat
Penerbit: Mizan
Tahun terbit: 1987, cetakan kedua
Tebal: 117 halaman
Sumber foto: dokumentasi pribadi