Peresensi @hdgumilang
Siapa tidak
pernah mendengar nama Rendra? Namanya begitu besar. Seorang penyair Indonesia
yang terbaik. Buku yang sekarang dihadirkan ini salah satu kumpulan puisinya
yang terkenal.
Sajaknya, sajak
kritik-kritik sosial. Rendra sengaja
memilih puisi sebagai bentuk ungkapan perlawanan, seperti yang dia katakan
dalam sajak, ‘Aku Tulis Pamflet Ini’
Aku tulis
pamplet ini
karena pamplet
bukan tabu bagi penyair.
Aku inginkan merpati
pos.
Aku ingin
memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku.
Aku ingin
membuat isyarat asap kaum Indian.
Dalam
puisi-puisinya itu terhimpun ruh perlawanan terhadap status quo, kegelisahan terhadap kehidupan yang timpang, membela
diri atas ketidakadilan. Perhatikanlah kutipan masih di sajaknya yang berjudul ‘Aku
Tulis Pamplet Ini,’
Apabila kritik
hanya boleh lewat saluran resmi
maka hidup akan
menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat
umum tidak mengandung pertanyaan
Tidak mengandung
perdebatan
Dan akhirnya
menjadi monopoli kekuasaan
Lihatlah bagaimana
Rendra begitu peduli dengan nasib anak-anak yang dibodohkan oleh negerinya
dalam ‘Sajak Sebatang Lisong’
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat
delapan juta kanak-kanak
tanpa
pendidikan.
Ada dua puluh
enam puisi di sini. Tipis memang, hanya delapan puluh delapan halaman. Tapi isinya
jangan ditanya, tebal sekali penuh arti. Membaca puisi-puisinya seakan membawa
kita melompat-lompat dari satu tempat ke tempat lainnya. Bagi Rendra, tidak ada
artinya kesenian bila terpisah dari derita lingkungan, tidak ada artinya
berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan. Maka puisi-puisinya memiliki
napas yang panjang tentang dua hal itu: permasalahan dan penderitaan. []
Anatomi
buku
Judul:
Potret Pembangunan dalam Puisi
Penulis:
Rendra
Penerbit:
Pustaka Jaya
Tahun
terbit: 2013, cetakan ketiga
ISBN:
978-979-419-384-6
Tebal:
88 halaman
Sampul:
softvcover
Sumber
foto: internet